Aku mengenal Kang Ubaidilah Muchtar ini lewat Mbak Truly Rudiono yang waktu itu sebagai humas Blogger Buku Indonesia sedang mengadakan program semacam charity yang nantinya buku-buku itu akan disumbangkan, dan waktu itu pilihannya adalah Taman Bacaan Multatuli yang dikelola langsung Kang Muchtar ini. Beberapa bulan yang lalu, aku pernah nonton liputannya langsung di Metro TV. Wow, betapa kerennya Kang Ubaidillah ini membangun minat baca dengan cara yang tidak biasa ini.Ya, taman bacaan Kang Ubaidilah ini spesialis buku-bukunya Multatuli. Keren ya.
Berikut hasil wawancara bersama Kang Ubaidilah:
1. Sebagai
pembukaan, bisa memperkenalkan diri dan sedikit cerita keseharian yang
berhubungan dengan dunia literasi?
Saya
Ubaidilah Muchtar. Biasa dipanggil Ubai. Saya memandu pembacaan novel Max Havelaar di Taman Baca Multatuli
sejak Maret 2010. Membaca novel karya Multatuli secara pelan-pelan. Sangat
pelan. Dalam format reading group. Membaca novel seminggu sekali dengan lama
1-1,5 jam. Biasanya di hari Selasa. Juga memandu pembacaan novelet Saijah dalam
bahasa Sunda.
2. Sebagai
pejuang literasi, hal apa yang menggerakkan hati pertama kali untuk terjun ke
dunia literasi?
Sungguh
tidak merasa menjadi pejuang. Ini hanya ikhtiar kecil menghidupkan ingatan
melalui bacaan. Sebermula sebelum membawa buku-buku bekas dari rumah di Depok
ke Ciseel saya bercita-cita mendirikan koperasi. Namun tidak jadi. Kemudian
pada 10 November 2009 memulai mewujudkan mendirikan Taman Baca Multatuli di
ruang tamu rumah Pak RT Sarif. Sebab tidak setiap hari pergi pulang
Depok-Lebak, maka mengisi waktu dengan buku adalah pilihan. Buku untuk
anak-anak yang saat itu belum mengenal listrik dan belum tersentuh modernitas.
Meski tak ada dalam peta tapi bacaan mereka kelas dunia, Max Havelaar.
Hiburan
satu-satunya anak-anak Ciseel pada saat itu adalah buku. Saya tergerak memberi
penghiburan untuk mereka. Memberi jendela lain. Bahwa ada dunia luas. Bahwa
dunia tidak sebatas jarak Ciseel-Ciminyak. Dan dunia yang luas itu dapat
dijangkau dengan buku. Dengan membaca buku.
3. Bisa
ceritakan secara garis besar tujuan dari gerakan literasi yang diusung.
Anak-anak
Ciseel yang merupakan bagian dari Kabupaten Lebak harus mengenal sejarah tanah
kelahirannya. Asal usul tanah mereka. Watak dan kebiasaan dari pemimpin mereka.
Watak yang jahat harus dihindari. Watak pembela rakyat harus terus dihidupkan.
Nilai-nilai dalam Max Havelaar
ditanamkan pelan-pelan. Antikolonialisme. Pantang korupsi. Menghormati
perbedaan. Toleran. Antikekerasan. Peduli rakyat. Maka membaca Max Havelaar di Taman Baca Multatuli
adalah tepat secara historis dan geografis.
Novel berlatar Lebak dibaca anak-anak Lebak. Novel pertama yang membuka mata dunia tentang
busuknya kolonialisme di Hindia Belanda dan memberi ilham bangsa Indonesia
untuk merdeka. Novel yang membunuh kolonialisme, begitu kata novelis Buru,
Pramoedya Ananta Toer.
4. Bagaimana
lingkungan menanggapi gerakan literasi yang dibangun? Apakah antusias dan
mendukung gerakan ini?
Enam
bulan sebelum untuk pertama kali membawa buku di kotak plastik 60 liter yang
diikat di belakang sepeda motor, warga sudah mendengarnya. Dari pintu ke pintu
diketuk untuk meminta pendapat. Tempat ngaji didatangi. RT/RW didekati. Hasilnya
baik.
Aktivitas
tambahan selain ke sekolah dan ke hutan adalah membaca. Sore selepas sekolah
atau malam menjelang tidur. Warga tentu saja senang. Sebab tidak terlalu
khawatir anaknya dipatuk ular di hutan atau terseret air di sungai.
Semua
dibicarakan bersama. Warga senang terlibat aktivitas di Taman Baca Multatuli.
Anak-anak juga antusias. Sebab bukankah ada dua hal penopang berjalannya
aktivitas di taman baca. Konsistensi dan animo. Konsistensi tanpa animo hanya
melahirkan kelelahan. Sebaliknya animo yang besar tanpa konsistensi melahirkan
kekecewaan. Dua-duanya perlu ada. Perlu dibiasakan. Ditekadkan. Alhamdulillah ada di Ciseel. Di Taman
Baca Multatuli. Di Lebak.
Jika
ada anak di sore Selasa masih keluyuran di jalan-jalan kampung. Orang tua
biasanya bertanya, “Ari sia teu ngilu
riding?” (Mengapa kamu tidak ikut reading?).
Sebab mereka tahu jadwal membaca. Reading
group. Reading. Reading Group Max Havelaar. Mereka kenal.
5. Hal
apa saja yang sudah dilakukan dalam gerakan literasi ini?
Belum
sudah. Namun masih. Masih reading group
Max Havelaar. Masih mengulang untuk ketiga kali membaca Max Havelaar. Baru pertemuan ke-153.
Masih reading group novelet Saijah
bahasa Sunda. Baru tamat lima kali. Masih mendorong agar anak-anak menulis
catatan harian. Masih berjuang membukukan catatan anak-anak. Masih menonton
film tiap Kamis malam. Masih belajar bahasa Inggris. Masih mengadakan kegiatan
tahunan bernama Ciseel Day sejak
2011. Masih banyak harapan. Masih banyak yang ingin dilakukan.
6. Prestasi
apa saja yang sudah diraih dalam gerakan literasi ini?
Beberapa
kali tampil di majalah. Beberapa kali tampil di koran. Beberapa kali tampil di
televisi. Beberapa kali menjadi teman berbagi pengalaman. Beberapa kali
menerbitkan buku catatan anak-anak. Anak-anak menjadi cover buku Max Havelaar terbitan Qanita, Mizan.
Pernah sekali mendapat penghargaan dari Perpusnas, Nugra Jasadarma Pustaloka 2014.
7. Kendala
apa saja yang dihadapai dalam gerakan literasi ini?
Konsistensi
dan animo pernah menjadi kendala. Meski pada akhirnya menemukan kesenangannya.
Bukankah menjaga lebih berat daripada memulai. Terkadang itu hadir. Meski
sesekali.
8. Bagaimana
peran pemerintah dalam gerakan literasi ini?
Jika
ada yang ingin berperan tentu terima kasih dan selalu terbuka. Pun jika tidak
ada, seperti yang terjadi sejak awal hingga kini bukan sebuah rintangan apalagi
kekecewaan. Mungkin itu pilihannya. Pintu Taman Baca Multatuli tetap terbuka.
9. Pandangan
mengenai minat baca di Indonesia?
Tidak
tahu.
10. Apa
harapan kedepannya dalam gerakan literasi ini?
Makin
banyak pembaca Max Havelaar. Novel Max Havelaar menjadi bacaan wajib di
Lebak. Jika setiap orang membaca Max
Havelaar. Cita-cita Multatuli mendekati kenyataannya: “panggilan nurani
manusia ialah menjadi manusia.” Semoga.
Ini beberapa dokumentasi yang aku ambil dari album facebookya Kak Ubaidilah Muchtar:
Komentar
Posting Komentar