Kenapa saya membahas Perpustakaan sebagai ruang publik? Kebetulan di bulan September, tepatnya di tanggal 14 September bertepatan dengan Hari Kunjung Perpustakaan. Cocok kan momennya, apalagi profesi saya sebagai pustakawan, jadi ya hitung-hitung sebagai salah salah wujud nyata terhadap pengembangan profesi, hehe...
Tahun lalu, saya berkesempatan menjadi juri Lomba Resensi Antar SMA yang merupakan salah satu lomba dari rangkaian acara Hari Kunjung Perpustakaan yang diadakan oleh perpustakaan ini. Dari rangkaian acara tersebut, sebenarnya yang paling menarik adalah pemberian reward bagi pemustaka, yang terdiri dari pemustaka terbaik secara individu dan kelompok.
Pemustaka secara individu diraih oleh seorang mahasiswa dari
salah satu Perguruan Tinggi di Metro. Yang namanya mahasiswa, sealergi-alerginya
sama perpustakaan, kalo udah semester akhir pasti ya ke perpustakaan, apalagi
kalo bukan karena butuh buat referensi tugas akhir atau skripsi, hehe..
Kemudian, Pemustaka secara kelompok diraih oleh sebuah
keluarga. Jadi, ada sebuah keluarga yang rutin berkunjung ke perpustakaan ini;
ayah, ibu, dan anak-anaknya. Nah, perpustakaan bisa menjadi ruang publik yang
seharusnya bisa diminati warga untuk sekedar bercengkrama ataupun untuk
berdiskusi. Di ruang baca anak, saya sering melihat anak-anak SD yang pulang
sekolah, sementara orangtua mereka masih bekerja, mereka dititipkan di ruang
ini, bebas membaca. Kebetulan perpustakaan tutupnya sama dengan jam kantor,
jadi para orangtua bisa aman membawa anaknya ke sini; aman dan nyaman.
Tapi sayangnya, perpustakaan yang memiliki bangunan megah
dan letaknya sangat strategis ini sepi pengunjung. Kenapa? Ada banyak beberapa
faktor. Pertama, yang ditunjuk sebagai kepala perpustakaan selalu dari jenjang
struktural umum, justru bukan yang berlatar belakang ilmu perpustakaan. Sudah beberapa
kali ganti kepala, tapi belum ada perubahan yang signifikan. Kurang ada
gregetnya.
Kedua, dari segi SDM-nya. Sebenarnya pegawainya lumayan banyak.
Sayangnya rata-rata adalah pegawai umum. Yang berlabel pustakawan pun hanya
lima. Sebenarnya lima pustakawan pun sudah cukup untuk membuat perpustakaan
melakukan inovasi. Lagi-lagi, kurang ada gregetnya. Saya aja sebagai pustakawan
sekolah sampai gemas, hehehe..
Ketiga, perpustakaan kurang ada gongnya. Sebagai sarana
sumber informasi, harusnya kebutuhan informasi masyarakat Metro bisa terpenuhi
di sini. Misalnya, pengadaan wifi di perpustakaan bisa menjadi salah satu daya
tarik masyarakat buat berkunjung ke sini. Sekolah-sekolah saja rata-rata sudah
ber-wifi, masak perpustakaan belum ada?!?
Keempat, sistem layanan dan koleksinya masih terbatas. Perpustakaan
bisa bekerja sama dengan penerbit untuk pengadaan buku-buku terbaru, jangan
hanya buku sisa dari bazar yang rata-rata hanyalah buku-buku cuci gudang alias
stok lama. Sistem layanan juga menyangkut SDM yang bekerja di sini. Apalah arti
banyak pegawai jika kurang maksimal kerjanya. Harusnya perpustakaan merekrut
pegawai-pegawai yang tidak hanya mengerti ilmu perpustakaan, tapi juga memahami
IT. Zaman sekarang kayaknya ketinggalan banget kalo apa-apa sistemnya masih
manual x))
Jika perpustakaan sudah bisa merenovasi empat poin yang
disebutkan di atas, niscaya perpustakaan bisa menjadi salah satu ruang publik
favorit pilihan masyarakat Metro dan sekitarnya.
Komentar
Posting Komentar