Langsung ke konten utama

REVIEW Twenty Five Twenty One


"Kemampuan itu tidak meningkat seperti lereng, tapi seperti tangga. Naiklah selangkah demi selangkah.” -Ayah Na Hee Do-

Bulan lalu, drama ini ramai sekali diperbincangkan. Aku juga sebenarnya juga sudah penasaran dari awal, tapi karena bukan tipe yang bisa nonton on going, aku mulai nonton begitu mulai mendekati episode tamat. Jadi pas nonton maraton, bisa langsung tamat nontonnya dalam dua minggu aja x))

Drama ini bersetting tahun 1998. Kala itu aku masih SD, jadi tidak begitu mengingat memori di zaman itu. Hanya seingatku, di tahun itu suasana Indonesia cukup mencekam. Berbagai bidang berpengaruh, terutama masalah ekonomi: krisis moneter. Ternyata tidak hanya di Indonesia, tapi di Korea juga berpengaruh. Nah, di drama ini akan terasa sekali suasana krisis moneter kala itu: PHK banyak terjadi dimana-mana, ekonomi terpuruk, barang-barang serba mahal, pokoknya hidup apalagi bagi kalangan menengah ke bawah sangat terasa sekali imbasnya. Plusnya lagi, drama ini juga kental dengan aroma kehidupan para atlet anggar, salah satu cabang olahraga yang kurang familiar di telinga kita.



Adalah Na Hee Do yang merupakan pelajar sekaligus anggota tim anggar di sekolahnya, merasakan dampak dari krisis moneter ini. Sekolahnya membubarkan eskul ini karena keterbatasan anggaran. Mau tidak mau membuatnya terpaksa pindah ke sekolah yang memiliki eskul anggar. Awalnya dia makin bersemangat karena dia tahu di sekolahnya yang baru bakal satu eskul dengan salah satu atlet ternama; Go Yoo Rim. Siapa sangka, Go Yoo Rim tak seperti yang ia bayangkan, dia cenderung tidak mau berteman dengan siapa pun termasuk Na Hee Do.


Di sekolah tidak punya teman, di rumah pun juga selalu sendirian, seperti anak 90-an pada umumnya, Na Hee Do suka ke tempat penyewaan buku. Di sini, sebagai pelampiasannya untuk menghilangkan penat karena urusan di sekolah maupun di rumah.


Di sinilah Na Hee Do bertemu dengan Baek Yi Jin yang melakukan part time di penyewaan komik ini. Sebenarnya Baek Yi Jin tidak hanya melakukan satu part time, tapi ada beberapa demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan hidup adiknya. 


Ngeliat cowok kalo lagi baca buku kayak gini, level tjakepnya langsung naik 100%, wkwkwk.... x))


 


Pas scene Na Hee Do panik karena komik yang dipinjamnya sobek yang dibuang oleh ibunya, ini mengingatkan pengalamanku pas SMP. Jadi kala itu, aku lagi getol-getolnya ke penyewaan komik. Karena uang jajan yang terbatas, membaca komik dari tempat penyewaan adalah salah satu terbaik kala itu. Mungkin aku hanya beberapa komik yang bisa dikoleksi. Selain uang jajan yang terbatas, di kota tempat tinggalku juga ada tidak ada toko buku. Dulu kalo pulang sekolah ada jadwal les, biasanya komik yang aku pinjam, dibawa almarhumah mama untuk dibalikin karena kebetulan sekolah tempat beliau mengajar melewati pasar. Nah, penyewaan komik ini ada di dalam pasar. Aku pikir kala itu, semua orangtua sama seperti orangtuaku, membebaskan anaknya membaca apa saja. Ternyata aku keliru. Suatu hari teman akrab pas SMP menangis karena komikku yang dipinjamnya disobek oleh bapaknya. Dia takut aku marah dan tidak mau meminjamkan komik padanya. Nyatanya aku tidak marah dan justru kasihan padanya karena tidak bisa bebas membaca komik. Kisah Na Hee Do yang menangis karena ibunya menyobek dan membuang komik yang dipinjamnya ini mirip kisah temanku pas SMP itu :')



Begitu juga scene ini, pas Na Hee Do dengan Go Yoo Rim rebutan komik terbaru ampe bingung Baek Yi Jin menentukan siapa duluan yang boleh membaca komik ini juga mengingatkan jaman SMP yang selalu rebutan dengan anak sekolah lain yang lokasinya lebih dekat dengan toko penyewaan komik sementara sekolahku kudu naik angkot sekali kalo mau ke toko penyewaan komik ini x))


Yang aku suka dari drama Korea ini adalah rata-rata di rumahnya baik di ruang keluarga ataupun kamar, memiliki minimal satu rak berisi buku-buku. Sama halnya dengan ruang keluarga dan ruang tidurnya yang memiliki banyak buku di raknya seperti. Kegiatan literasi di tahun 90-an memang lebih terasa, tidak hanya membaca buku, tapi juga menulis diary seperti yang dilakukan Na Hee Do ini yang kelak akan menjadi warisan cerita bagi anaknya. Ini juga mengingatkan kebiasaan almarhumah mama yang dulunya juga suka menulis semacam diary bahkan sampai saat masih punya anak juga beliau tuliskan. Beberapa diary peninggalannya masih aku simpan rapi di lemari yang kadang-kadang masih sering aku baca-baca kalau lagi kangen :')




Uwow, sebagai pustakawan, sinyal langsung kuat begitu ada scene di perpustakaan. Ini pas Na Hee Do ke perpustakaan dengan tujuan ubek-ubek buku tahunan sekolah demi melihat kecengan Baek Yi Jin saat masih sekolah x))


Aku nggak mau bahas secara gamblang cerita dalam drama ini karena sudah banyak sekali artikel yang mengulasnya bahkan cenderung spoiler. Aku akan membahas beberapa isu kesehatan mental yang tanpa disadari diselipkan drama ini. Pertama, overachiever. Go Yoo Rim yang merupakan atlet nasional dan pernah memenangkan medali, merasa tidak terima saat Na Hee Do yang dulunya bukan siapa-siapa bisa mengalahkannya. Overachiever adalah tipe jenis kepribadian yang ambisius, melakukan apa pun yang ingin diraihnya dengan segala cara tanpa memperdulikan orang lain demi meraih apa yang ia mau. Hal ini bisa kita lihat saat Na Hee Do meraih emas dalam final Kompetisi Anggar yang disaksikan seluruh dunia. Na Hee Do yang harusnya bahagia, justru menderita karena Go Yoo Rim merasa harusnya dia yang menang dan semua yang menontonnya juga menganggap Go Yoo Rim yang merupakan atlet nasional lebih berhak memperoleh emas dibandingkan atlet baru seperti Na Hee Do.


Kedua, duck syndrome. Ini juga jenis ambisius. Pasti tahu bebek saat berenang kan? Terlihat tenang jika kita melihatnya di permukaan, padahal kakinya berusaha keras melewati air agar tidak tenggelam. Begitulah kira-kira perumpaan sindrom ini. Terlihat ingin selalu baik-baik saja, sempurna tanpa celah, Nah, Go Yoo Rim juga seperti ini. Dia yang merupakan atlet nasional dan merasa bakal jadi sorotan, tidak mau menceritakan kesusahan dirinya termasuk pada pacarnya sendiri.


Ketiga, sandwich generation. Bukan tanpa alasan Go Yoo Rim terlihat ambisius dan selalu ingin memenangkan kompetisi demi mendulang uang karena kebutuhan. Berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi ke bawah, Go Yoo Rim merasa kebutuhannya selama ini sebagai atlet membebani orangtuanya yang hidupnya pas-pasan: ibunya membuka kedai makanan, sedangkan ayahnya sopir truk yang mengharuskannya jarang berada di rumah. Belum lagi masalah ekonomi bertubi-tubi menghantam keluarga mereka :')


Berasal dari keluarga berada, dan tiba-tiba keadaan ekonomi keluarga berbanding terbalik karena perusahaan ayahnya bangkrut, yang mengharuskan Baek Yi Jin harus tinggal berpencar dengan keluarganya, belum lagi tambahan para penagih hutang yang mencari-cari mereka, tanpa disadari Baek Yi Jin mengalami impostor syndrome. Jenis masalah kesehatan mentaal keempat yang kita temukan dalam drama ini memiliki ciri-ciri merasa tidak percaya diri dengan kemampuannya dan merasa hidup tidak berhak bahagia karena banyak yang menderita semenjak perusahaan ayahnya bangkrut dan merugikan banyak orang. 


Kelima, emotional sponge. Yaitu jenis kepribadian yang mudah menyerap emosi orang lain. Ini juga dialami Baek Yi Jin. Sebagai reporter, sedari awal sudah diingatkan seniornya untuk menjaga jarak dengan narasumber karena dikhawatirkan jika suatu saat akan mengalami masa-masa tidak bisa memisahkan antara hal pribadi dengan hal pekerjaan. Salah satunya yang paling sedih adalah saat dia harus membacakan berita tentang Go Yoo Rim yang akan pindah kewarganegaraan ke Rusia. Ini nyesek banget sih liat Baek Yi Jin yang merasa bersalah karena pas berita yang dibawakannya, Go Yoo Rim dihujat satu negara :')


Keenam, toxic parenty. Punya ibu yang tampak sempurna dari luar, belum tentu sang anak menyukainya. Itulah yang dialami Na Hee Do. Pasca kepergian ayahnya, jarak antara dia dan ibunya semakin membentang lebar. Ditambah lagi ibunya sangat perfect dalam segala. Ibunya Na Hee Do ini tipikal orangtua yang selalu menyalahkan anaknya, tidak mendukung keputusan anaknya salah satunya ketika Na Hee Do memilih fokus untuk bermain anggar. Bahkan sampai tua pun, sang ibu menganggap jika sang anak tak memahaminya. Padahal sang anak justru kebalikannya, sang ibu tak memahami keinginan anaknya :')


Ketujuh, inner child. Na Hee Do di usia 19 tahun masih terjebak di usia 13 tahun, usia dimana dia kehilangan cinta pertamanya; sang ayah yang sangat menyayanginya. Dalam rentang enam tahun itu, batinnya terluka. Ditambah dia tidak memiliki support system dalam hidupnya. Plus ada jurang yang lebar antara ibunya dan ibunya. Dan ternyata ibunya selama ini juga terluka dan ada penyesalan seumur hidupnya yang sulit sekali dimaafkan.


Kedelapan, daddy issues. Beberapa tanda seseorang mengalami daddy issues diantaranya adalah memiliki ayah yang bersikap dingin, seorang ayah meninggal ketika sang anak masih kecil, atau bisa juga terjebak hubungan toxic dengan ayahnya. Nah, untuk kasus Na Hee Do ini, dia kehilangan ayahnya saat masih kecil. Ada kemungkinan ini menjadi faktor dia menyukai Baek Yi Jin yang umurnya berbeda dengannya. Dia butuh figur yang lebih dewasa untuk support system-nya.


Selain membahas isu kesehatan mental, juga ada beberapa selipan kritik sosial di lingkungan sekolah. Pertama, ada diskriminasi perlakuan guru terhadap anak pintar dan bandel di sekolah. Moon Ji Wong, tipikal anak-anak hits di sekolah yang cenderung mencari perhatian di sekolah, selalu saja menjadi inceran Seo Yeong Seong, guru killer di sekolah. Nggak tanggung-tanggung, pecutan kerap ia berikan untuk Moon Ji Wong yang menurutnya selalu melakukan kesalahan.


Kedua, ada gap antara murid dan guru. Guru meskipun salah, susah sekali untuk dikasuskan. Berbeda halnya jika sang murid melakukan kesalahan, guru merasa berhak menghukum murid menurut versi mereka. Guru yang masih generasi baby boomer, memang masih sering kita temukan yang karakternya seperti ini; menghukum siswa sesuai keinginan mereka. Dan sang murid biasanya tak bisa melawan. Jika melawan seperti Ji Seung Wan, murid paling pintar di sekolah pun justru terancan karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah.


Ketiga, idealisme seorang murid direpresentasikan lewat tokoh Ji Seung Wan. Daripada harus menjatuhkan harga dirinya untuk minta maaf kepada guru yang melakukan kekerasan pada Moon Ji Wong, Ji Seung Wan rela keluar dari sekolah meski dengan berat hati karena pengorbanannya selama ini belajar mati-matian untuk masuk ke perguruan tinggi menjadi sia-sia. Salut juga dengan ibu Ji Seung Wan yang mendukung keputusan sang anak. Tapi dalam kehidupan nyata, rasanya sulit sekali kita bisa bersikap tegas seperti Ji Seung Wan, apalagi satu bulan lagi tinggal menuju kelulusan sekolah :')


Drama ini tidak hanya fokus pada kisah antara Na Hee Do dan Baek Yi Jin, tapi juga persahabatan antara Na Hee Doo yang selama ini kemana-mana terbiasa mandiri dan sendiri akhirnya bisa memiliki beberapa sahabat di saat suka maupun duka. Ngakak banget akutu pas mereka ke pantai, Baek Yi Jin serasa momong anak empat karena memang mereka nggak tahu apa-apa; mulai dari nggak bisa menghidupkan api untuk nge-grill, nyuci selada malah pakai sabun cuci, bahkan masak beras kebanyakan karena gak tau ukuran beras ketika berubah menjadi nasi x))


Drama ini menurutku bagus banget, apalagi buat yang sekarang sudah dewasa seperti Na Hee Doo dan kawan-kawan. Adakalanya hidup tidak selalu manis dan mulus seperti yang kita inginkan. Tapi dari kegagalan itulah kita bertumbuh menjadi manusia yang lebih kuat dalam menghadapi hidup. Masalah tidak bisa selesai hanya dengan cara dihindari, tapi harus dihadapi meski itu berat dan melelahkan. Percayalah akan ada masanya nanti kita bisa menertawakan kehidupan yang lalu meski dijalani dengan pahit :')


Banyak quote dalam drama ini yang bagus banget menurutku untuk dijadikan pelajaran dalam hidup terutama saat melewati fase quarter life crisis:

1.        “Jika kau berusaha, aku juga ingin berusaha. Jika kau berhasil, aku juga jadi ingin berhasil. Kau membuat orang lain bertumbuh juga, tidak hanya dirimu sendiri.”

2.       "Terkadang kata semangat malah bisa membuatmu patah. Meskipun begitu, cobalah lakukan sebisamu dan berjuang sekuat tenaga. Meski gagal, hati yang kuat untuk bangkit akan memihakmu."

3.       "Orang-orang menyebut kegagalan sebagai kekuatan mental. Semua orang ingin memiliki hati yang kuat, yang tidak takut kalah, dan gagal sepertimu."

4.       "Saat berbuat hal buruk, imajinasi orang dewasa dan anak-anak bagaikan langit dan bumi. Masa kini bisa merenggut mimpimu, uang, dan keluarga."

5.       "Tidak semua hal berjalan sesuai dengan keinginan kita," - Na Hee Do

6.       Aku hanya akan berusaha demi diriku karena hanya aku yang tahu usahaku,” – Na Hee Doo.

7.       "Hidup yang tidak sesuai impian bukanlah hidup yang gagal dan hidup yang sesuai impian belum tentu hidup yang berhasil. Aku hanya ingin melakukan tugas yang diberikan kepadaku dengan baik. itulah mimpiku," - Baek Yi Jin

8.       “Aku tidak ingin kamu hidup untukku. Aku ingin kau hidup untuk dirimu sendiri.” – Ko Yurim

9.       “Menyukai seseorang berarti aku bisa belajar tentang diriku sendiri.” – Na Heedo

10.   “Mungkin akan menyakitkan jika kamu kehilangan semuanya. Tetapi yang penting adalah Anda pernah mengalaminya pada satu titik.” – Ko Yurim

11.   “Bahkan jika hidup menjadi sulit, jangan menyerah pada hal-hal yang Anda sukai. Jalani hidup Anda dengan melakukan apa pun yang Anda bisa, apakah itu sukses atau gagal.” – Baek Yi Hyun

12.   “Ketika kamu berusaha keras, itu membuatku ingin berusaha keras juga. Ketika kamu mencapai sesuatu, itu membuatku ingin mencapai sesuatu. Kamu membuat orang lain melakukannya dengan baik, bukan hanya dirimu sendiri.” - Baek Yi Jin

13.   “Terkadang, mengatakan bahwa kita bisa melakukan sesuatu bisa lebih mengecilkan hati. Kita belum belajar tentang dunia di mana kamu tidak harus melakukannya dengan baik dan bisa gagal. Tetap saja, mari kita lakukan yang terbaik. Mari lakukan yang terbaik. Tapi aku masih berharap bahwa meskipun kita gagal, kita akan cukup kuat untuk bangkit kembali.” - Baek Yi Jin

14.   “Kadang-kadang kamu sedih seolah-olah seluruh dunia membelakangimu. Tapi di lain waktu, kamu tertawa terbahak-bahak.” - Baek Yi Jin

15.   “Kalau dipikir-pikir, tidak ada yang namanya tragedi atau komedi murni. Namun, saya berharap jalan di depan kita dipenuhi dengan lebih banyak komedi.” Na Hee Do 

16.   “Waktu mengambil segalanya darimu. Kamu tidak bisa menyerah pada kebahagiaan.” - Na Hee Do 

17.   “Bahkan jika kita tidak bersama, mari kita bangkit bersama. Aku akan menjadi kekuatanmu untuk membantumu bangkit kembali.” Na Hee Do 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW Moon Lovers: Scarlet Heart Ryeo

  Sebenarnya gak antusias waktu tahu serial ini tayang. Pertama, setting cerita yang ala-ala kerajaan gitu biasanya bertele-tele. Kedua, pemain perempuannya banyak yang bilang nggak suka. Tapi semakin ke sini, makin banyak yang bilang suka drama ini dari segi cerita. 

REVIEW Extracurricular

  Awalnya gak niat nonton ama drama ini, ternyata banyak yang bilang bagus. Bukan sekedar kisah remaja dengan cerita menye-menye semata. Terlihat dari posternya yang terkesan dark, drama ini mengisahkan sisi kelam para remaja: prostitusi online.

REVIEW Welcome to Waikiki 2

Setelah nonton drama Welcome to Waikiki 1 yang super parah sengkleknya, rasanya kurang afdol jika nggak nonton seri yang kedua x))